Haul Mbah Sapu Logo di Bangkok Kian Semarak: Merawat Tradisi, Menguatkan Guyub

Pasuruan_lumbungberita.id
Udara malam Dusun Bangkok, Desa Karangrejo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan terasa berbeda, Sabtu (5/7/2025). Pelataran makam Mbah Sapu Logo yang biasanya teduh dan sunyi, malam itu menjelma menjadi panggung kebersamaan dan perayaan budaya.

Ratusan pasang mata memandang ke arah panggung utama. Anak-anak menari, para sesepuh tersenyum, dan para tamu undangan larut dalam gelombang suasana yang hangat.

Inilah puncak acara Ruwat Dusun dan Haul Mbah Sapu Logo ke-13, bertepatan dengan 1 Suro atau 1 Muharram 1447 Hijriah. Bukan sekadar ritual tahunan, tapi peristiwa budaya yang menjadi cermin kekompakan warga, sekaligus bentuk penghormatan pada leluhur.

Kirab ancak dan tradisi bari’an telah membuka rangkaian acara pada Jumat (27/6). Lalu kemarin malam, segalanya mencapai titik paling ramai dan sakral.

Mulai pukul 19.20 WIB, panggung hiburan dibuka dengan penampilan tari-tarian anak-anak. Suara gamelan mengalun mengiringi langkah kaki kecil yang penuh semangat.

Di sela hiburan, pembagian doorprize dilakukan. Gunungan kemudian diserahkan oleh Kawil Dusun Bangkok, Ari Kurniawan, kepada dalang Ki Slamet Darmawan. Ritual simbolik itu menjadi penanda dimulainya pagelaran wayang kulit yang akan berlangsung semalam suntuk.

Namun, sebelum lakon pewayangan dimainkan, suasana panggung lebih dulu disemarakan oleh campur sari. Tak sedikit tamu yang ikut menyumbangkan suara.

Plt Camat Gempol Achmad Hadi dan Kepala Desa Karangrejo Su’ud bahkan ikut naik ke panggung, menyanyikan lagu “Teman” milik Rhoma Irama. Lagu “Rondo Kempling” pun turut menggema, dibawakan oleh perangkat dusun lainnya.

“Saya penasaran dengan Dusun Bangkok. Ternyata luar biasa. Warga sangat kompak, guyub. Ini bukan sekadar haul, ini juga bentuk nyata pelestarian budaya,” ujar Achmad Hadi penuh apresiasi.

Haul ini memang punya kekhasan. Bukan hanya menjadi momen spiritual, tapi juga ajang silaturahmi lintas usia dan wilayah. Masyarakat datang dari berbagai penjuru. Baik dari dalam maupun luar Pasuruan.

Mereka bebas memilih. Bisa duduk khusyuk di sisi makam untuk berdoa atau menikmati pertunjukan seni budaya di pelataran.

“Biasanya yang datang berdoa pada acara puncak ini adalah orang-orang jauh. Dari Gresik, Surabaya, Malang. Biasanya mereka berdoa dulu, baru ikut nonton hiburan,” kata Ketua Paguyuban Mbah Sapu Logo, Kariyono Tomporejo.

Paguyuban yang ia pimpin inilah yang sejak 13 tahun lalu memantik semangat guyub warga untuk menghidupkan tradisi secara lebih tertata.

“Kalau waktu saya kecil, tradisi bari’an itu sudah ada. Tapi belum seperti sekarang. Dulu belum ada paguyuban,” kenangnya.

Dengan anggaran puluhan juta yang dihimpun secara swadaya dan bantuan para dermawan, paguyuban ini terus berupaya menjaga agar tradisi tidak sekadar tinggal cerita.

Dua momen utama disiapkan setiap tahun: khataman Al-Qur’an dan kirab budaya, lengkap dengan rebutan ancak, tumpengan bersama, dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit.

“Acara ini bukan hanya milik warga sini. Semua boleh datang. Mau berdoa silakan, mau menonton juga boleh. Inilah ciri khas haul kami,” tambah Kariyono.

Awak media sempat menemui salah satu kelompok peziarah Mbah Sapu Logo. Mereka Datang berlima dari Bugul Kidul, Kota Pasuruan.

Mereka mengaku berasal dari kelompok Spritual dan Pengajian Ronggowarsito. Kedatangannya memang khusus untuk berdoa. Kegiatan yang lazim mereka lakukan di berbagai tempat di Jawa Timur.

“Dari ziarah yang kami lakukan, akan bisa dideteksi apakah suatu makam menyimpan energi negatif atau positif. Kalau negatif, berarti lingkungan sekitarnya kurang sehat. Kalau di Mbah Sapu Logo, kami melihat sangat positif,” terang Ketua Ronggowarsito, Ahmad.

Hingga dini hari, panggung wayang kulit terus hidup. Dalang Ki Slamet Darmawan memainkan lakon dengan khidmat. Disaksikan oleh mereka yang tetap bertahan di tengah malam. Sebagian menyimak serius, sebagian lagi larut dalam obrolan ringan. Tapi semuanya hadir sebagai bagian dari tradisi.

Haul Mbah Sapu Logo bukan sekadar peringatan. Ia adalah pengingat akan pentingnya merawat nilai, menghormati leluhur, dan menjaga kebersamaan. Dalam bahasa budaya, tradisi ini seolah berkata: “Guyub iku berkah.”

Jurnalis: Indra

Share this content:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!